Minggu, 08 November 2015

Undang-undang Pornografi dengan paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum

Perubahan pola perilaku masyarakat dipengaruhi adanya 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, faktor internal itu sendiri adanya penemuan-penemuan baru. Berubahnya perilaku masyarakat dipengaruhi dengan kemajuan teknlogi, yang salah satunya media hanphone yang bisa mengakses tontonan dari yang tidak selaras dengan nilai-nilai Islam, seperti pornografi. Pergeseran nilai ini tidak bisa di hindari,dulu yang dilarang, sekarang menjadi sesuatu yang dianggap biasa saja. Faktor eksternal salah satunya adalah munculnya budaya baru dari luar, pergaulan bebas dan bahkan ada kecenderungan punya anak di luar nikah pun dianggap biasa-biasa saja sikap masyarakat demikian sangat memprihatinkan

Dengan demikian ketika para pendukung moral meneriakkan pornografi, sebagian besar masyarakat kita cuek, acuh tak acuh, atau tidak peduli. Sebagian masyarakat berontak akan adanya UU pornografi. Mereka menganggap UU ini akan mendiskriminasi pihak perempuan, serta menyebabkan disintegrasi. UU Antipornografi substansinya cenderung mencampuri urusan pribadi. ketika pendidikan seks diberikan secara tepat, maka ancaman pornografi bukanlah sesuatu yang menakutkan. Proteksi yang terlalu berlebihan dalam pemilihan yang bersifat pribadi, merupakan cara pendidikan yang hanya berlaku untuk anak-anak
Sebagian masyarakat menyuarakan kata setuju akan pengesahan UU pornografi ini, guna mengurangi keresahan masyarakat akan beredarnya situs-situs porno secara bebas, mengantisipasi maraknya tindak asusila pada usia anak-anak, dan melindungi moral generasi bangsa. Pornografi di Indonesia adalah ilegal, namun penegakan hukumnya lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman.Seiring kecanggihan teknologi situs-situs pornografi yang dulunya bisa disensor sekarang bisa dilihat tanpa ada hambatan. Kecanggihan yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah ini menimbulkan keresahan pada masyarakat. Maka sekitar tahun 2000 pemerintah berinisiatif untuk membuat RUU APP. Tanggapan pemerintah akan hal ini membuktikan bahwa hukum  itu sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat dengan salah satu ciri hukum itu menyesuaikan diri pada perubahan sosial. Namun pada UU ini juga ditemukan bahwa pemerintah tidak hanya merespon tetapi juga menciptakan RUU APP yang tujuannya untuk mengantisipasi masalah pornografi di masa yang akan datang. Dalam hal ini juga muncul paradigma hukum sebagai alat rekayasa sosial
Proses pembuatan UU pornografi ini berlangsung lama, dan panjang. Pembahasan RUU APP di mulai tahun 1997 di DPR :
a.       Isi draf RUU APP pertama,diajukan pada tanggal 14 februari 2006 yang berisi 11 bab dan 93 pasal
b.      Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial di hapus, sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Diantara pasal yang di hapus adalah pembentukan badan antipornoagrafi dan pornoaksi. Selain itu, rancangaa juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini di permasalahkan , maka di setujui untuk menggunakan definisi pornografi. Definisi pornoaksi pada draf ini ialah, upaya untuk mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan.
c.       Draf ke tiga, draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab 52 pasal. RUU APP pun di ubah menjadi RUU Pornografi. Pada September 2008, Predisen menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama DPR.
Finalnya dalam draf  ini adalah di sahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografitinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.

Meskipun UU pornografi sudah di sahkan pada tanggal 23 September 2008, tetapi masih banyak yang terjadi kontroversi dengan UU pornografi ini. Ada salah satu yang berpendapat bahwa UU ini mengandung atau memuat kata-kata yang ambigu, tidak jelas, dan bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut.

Pasal yang yang menunjukan kata-kata ambigu disini adalah
Bab I, pasal 1, ayat 1 : yang membangkitkan hasrat seksual
Bab II, pasal 6 :Setiap orang di larang atau menyimpan produk pornografi. Larangan memiliki atau menyimpan, tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan , memiliki, atau menyimpan barang pornografi ini hanya dapat di gunakan ditempa atau lokasi yang telah disediakan
Pasal 8 :Setiap orang di larangan atas persetujuan dirinya sendiri menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Ketentuan ini maksudnya, jika pelaku di paksa dengan ancaman atau diancam di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, di bujuk atau di tipu daya, atau di bohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 14 :Pembuatan,penyebarluasan, dan  materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan .
Pasal 21 :Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Semua pasal itu adalah ketentuan-ketentuan yang dianggap tidak relevan dan diusulkan untuk diubah.

Pornografi berdampak meningkatnya tindak kriminal di bidang seksual, baik kuantitas maupun jenisnya. Secara umum pornografi akan merusak masa depan generasi muda sehingga mereka tidak lagi menghargai hakikat seksual, perkawinan dan rumah tangga. Pornografi juga akan merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat akan mengalami kemerosotan kultural. Selain itu pornografi akan merusak harkat dan martabat manusia. Sebagai citra sang Pencipta/Khalik yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat dan terhormat. Sehingga UU pornografi sangat dibutuhkan untuk menagani hal ini.
Menurut Rosce Pound sendiri hukum berfungsi untuk merekayasa sosial. Hukum dipakai untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang tetatur dan direncanakan terlebih dahulu. Rekayasa sosial melalui hukum meliput :
1.      Menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari adanya lembaga hukum.
2.      Melakukan study sosiologis untuk mempersiapkan perundang-undangan.
3.      Menciptakan efektivitas cara agar peraturan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam UU Pornografi. Jhering berpendapat bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, karena itu ada nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam memproses pembuatan hukum, sehingga sukses tidaknya suatu proses hukum adalah dapat dilihat dari pencapaian keseimbangan antara dua kepentingan tersebut. Sebenarnya seluruh golongan masyarakat maupun agama menyetujui adanya UU Pornografi, akan tetapi yang di permasalahkan atau tidak disetujui adalah substansi atau isi dari UU Pornografi tersebut karena dianggap hanya mengakomodir keinginan satu golongan atau agama tertentu.
Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat yang pro terhadap UU pornografi sangat beragam, banyak organisasi-organisasi yang mendukung adanya UU pornografi. Masalah pornografi yang semakin runyam, menyebabkan keresahan bagi masyarakat. maraknya pornografi memicu perubahan sosial bagi masyarakat. Hal ini dapat memicu tindak pelecehan seksual yang banyak dialami oleh anak-anak dan wanita. Pornografi juga merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat. Hal ini juga berdampak besar bagi negara kita, yaitu rusaknya moral generasi penerus bangsa. Hal ini sangat meresahkan masyarakat dan negara. Perubahan yang begitu cepat ini memunculkan hukum baru. Dengan adanya hukum baru ini, perubahan pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat diakomodir oleh hukum. Sehingga tidak ada lagi kekosongan atas kehendak hukum masyarakat.




  


  

DAFTAR PUSTAKA

Ni’mah,  Zulfatun. Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar. Cet ke 1. Yokyakarta: Teras, 2012.
Undang-Undang Pornografi dan penjelasannya Dilengkapi dengan Pro-Kontra. cet ke 1. Yogyakarta : Indonesia Tera Anggota IKAPI.2008.
http://buletinwiweka.blogspot.co.id/2009/02/uu-pornografi-sejarah-duka-bangsa.html (diakses pada tanggal 07 November 2015, pukul 21.00)
http://hasiltugasku.blogspot.co.id/2011/04/porno-grafi-porno-aksi.html (diakses pada tanggal 07 November 2015, pukul 21.03)



2 komentar:

  1. artikel yang anda buat cukup memberikan pengetahuan kami tentang uu pornografi, tetapi kami sebagai pembaca kurang menemukan paradigma nya,. dan pada pasal 8, 14, 21 anda mengatakan tidak relevan, yang saya tanyakan adalah alasan apa yang menjadikan ketidak relevanan pada pasal-pasal tersebut???????
    tolong anda jelaskan,, agar pembaca tau dan tidak bertanya-tanya tentang hal itu.
    mohom maaf sebelumnya,,, semoga masukan saya bisa di terima. terimakasih

    BalasHapus